Sabtu, 12 Desember 2009

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN IPA DI DUNIA TIMUR/ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

Islam adalah salah satu agama samawi. Sebagai salah satu agama samawi, Islam memiliki cirri khas, yaitu rahmatan lil ‘alamin. Islam sangat memperhatikan eksistensi agama-agama lain. Bahkan Islam sangat menghargai dan menghormati eksistensi agama-agama lain tersebut.

Ada suatu ketetapan bahwa Ilmu Perbandingan Agama ini dicetuskan pada pertengahan abad sembilan belas oleh sarjana Barat. “Adalah sudah menjadi kebiasaan mendapatkan awal mula studi agama itu pada pertengahan abad sembilan belas. Dan sudah menjadi kebiasaan menyebut nama E. B. Taylor, J. G. Frazer ataupun F. Max Muller sebagai pencetus dan pendiri dalam bidang studi agama”.[1]

Pandangan di atas seolah-olah bersifat sepihak, karena sebelum pertengahan abad sembilan belas banyak sarjana (baik Barat maupun Timur) yang mengkaji studi agama tersebut. Pada abad sembilan Masehi kajian mengenai studi agama sudah ada di dunia Timur (Islam). Sebagai buktinya adalah pada abad sembilan Masehi Ali ibnu Sahl Rabban al-Thabari telah menetapkan dasar-dasar Ilmu Perbandingan Agama. Sebagaimana Dr. Zakiah Daradjat, et. al. menjelaskan:

Sikap yang demikian itu menimbulkan kesan yang keliru, bahwa di dalam bidang studi agama sebelum ketiga sarjana tersebut di atas, belum pernah ada sarjana yang mengkajinya. Padahal sebelumnya di dunia Barat dan Timur banyak para sarjana dari berbagai disiplin ilmu telah menyelidiki serta menganalisis fenomena keagamaan serta institusi keagamaan.[2]

Berdasarkan pandangan di atas, maka untuk lebih jelasnya lagi penulis akan memaparkan kajian studi agama di dunia Timur (Islam) pada bab selanjutnya. Sehingga dengan pembahasan kajian studi agama di dunia Timur tersebut kita dapat memperoleh suatu pemahaman bahwa kajian mengenai studi agama telah ada sebelum pertengahan abad sembilan belas Masehi. Dengan demikian pemahaman kita terhadap kajian studi agama ini dapat menjadi sebagai suatu pemahaman yang objektif.



[1] Zakiah Daradjat, et. al., Perbandingan Agama (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Jilid 2, hlm. 1.

2 Ibid.

BAB II

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ILMU PERBANDINGAN AGAMA DI DUNIA ISLAM

Ilmu Perbandingan Agama di dunia Islam tidak muncul begitu saja dengan sendirinya. Ilmu Perbandingan Agama di dunia Islam melewati proses perkembangan dan pertumbuhan. Proses perkembangan dan pertumbuhannya tersebut tentu saja memiliki persamaan atau perbedaan untuk setiap generasi yang mendalaminya. Sangat banyak sekali tokoh Islam yang mengkaji Ilmu Perbandingan Agama, akan tetapi dalam pembahasan ini pembahasannya dibatasi hanya beberapa tokoh saja, yaitu Ali ibnu Sahl Rabban al-Thabari, Ali ibnu Hazm, as-Syahrastani dan M. Abduh.

1. Ali ibnu Sahl Rabban al-Thabari (Wafat 854 M)

Ali ibnu Sahl Rabban al-Thabari meletakan dasar-dasar Ilmu Perbandingan Agama. “Dia adalah pengarang buku Perbandingan Agama yang berjudul al-Diin wa al-Daulah yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh A. Mingana dari Manchester pada tahun 1922 dengan title The Books of Religion and Empire”.[3]

Ali ibnu Sahl Rabban al-Thabari menghormati eksistensi agama lain di luar Islam dengan cukup arif. Disamping penghormatannya tersebut, ternyata ia juga memiliki sedikit pandangan yang bersifat apologis terhadap agama lain di luar Islam tersebut. Sebagaimana Dr. Zakiah Daradjat, et. al., menjelaskan sebagai berikut:

Ia tidak menyerang agama-agama di luar Islam. Keterangan-keterangannya tentang agama-agama lain demikian positif yang itu semua dapat dibaca dalam uraian-uraiannya. Antara lain menerangkan bahwa oleh karena Nabi Muhammad mempunyai mu’jizat-mu’jizat yang dapat lebih dipercayai dibanding dengan mu’jizat Nabi Isa, maka mestinya orang-orang Kristen menerima kenabian Nabi Muhammad. Sebagaimana pengarang-pengarang lain, Ali bin Sahl juga mengemukakan ayat-ayat Bibel yang memberitakan kedatangan Nabi Muhammad SAW.[4]

2. Ali ibnu Hazm (994-1064 M)

Sama halnya dengan Ali bin Sahl Rabban al-Thabari, Ali ibnu Hazm atau yang sering dikenal dengan sebutan ibnu Hazm pun meletakan dasar-dasar Ilmu Perbandingan Agama. “Ibnu Hazm adalah seorang Islam spanyol yang kakeknya adalah seorang Islam yang tadinya Kristen”.[5] “Ali ibnu Hazm (994-1064) seorang pengarang yang banyak menulis antara lain tentang sejarah, teologi, logika, syair, sehinnga karangannya meliputi sejumlah 400 jilid”.[6] Dalam masalah Ilmu Perbandingan Agama ia menuangkan karyanya yang berjudul al-Fasl fii al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal.

Islam datang ke Spanyol. Pada saat itu keadaan di sana sedang carut-marut (chaos), dan akhirnya Islam dapat menguasai kembali Spanyol. Pada saat itulah ibnu Hazm menuangkan al-Fasl fii al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal tersebut.

Keadaan Spanyol yang terpecah-pecah menyebabkan Islam lebih mudah menguasai spanyol kembali. Pada tahun-tahun berikutnya pusat-pusat pemerintahan Islam jatuh di tangan Spanyol, misalnya: Toledo (1085 M), Cordoba (1236 M), Sevila (1248 M), dan akhirnya Granada (1492 M). Pada saat itulah beliau menulis bukunya yang berjudul al-Fasl fii al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal.[7]

Ibnu Hazm sangat memahami isi perjanjian lama dan perjanjian baru. Nampaknya dalam kitab al-Fasl fii al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal tersebut ibnu Hazm masih terpengaruh dengan suasana telogis yang diyakininya, yaitu teologi Islam. Akibatnya dengan militansinya ia berani melontarkan serangan terhadap kitab suci agama lain di luar Islam. “Buku tersebut (al-Fasl fii al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal) terdiri atas empat jilid, dan merupakan serangan terhadap integritas Al-Kitab (Bibel) serta bantahan atasnya. Ia mengenal dan mengerti perjanjian lama dan perjanjian baru dalam beberapa terjemahan”.[8]

Fokus perhatian Perbandingan Agama yang dilakukan oleh ibnu Hazm adalah perbandingan antara Islam dan Kristen. Hal ini terbukti karena dalam kitab al-Fasl fii al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal ibnu Hazm melontarkan kritikannya yang sangat pedas terhadap penganut Kristen dan kitab sucinya. Sebagaimana Dr. Zakiah Daradjat, et. al. menjelaskan:

Dalam salah satu kitabnya yang berjudul al-Fasl fii al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal ia membagi penganut Kristen menjadi dua bagian, yakni orang Kristen yang tergolong politeistis dan sebagiannya lagi disebut orang Kristen yang memiliki kitab suci yang diwahyukan. Orang Kristen yang politeistis adalah mereka yang memiliki kitab suci yang dipalsukan oleh orang-orang Kristen dan Yahudi. Ibnu Hazm mengemukakan ayat sejumlah 78 buah yang menunjukan adanya pertentangan antara satu pasala dengan pasal yang lain, yang memungkinkan kemustahilan kitab suci orang Kristen sebagai kitab suci yang diwahyukan oleh Allah. Pengetahuannya tentang Bibel dan analisisnya yang kritis serta pengetahuannya yang luas tentang agama Kristen mengangkata dirinya sebagai seorang sarjana pertama dalam Ilmu Perbandingan Agama yang karya bersifat apologis.[9]

3. As-Syahrastani (1071-1143 M)

Asy-Syahrastani merupakan seorang muslim yang turut mengkaji Ilmu Perbandingan Agama. “Asy-Syahrastani adalah seorang tokoh pemikir muslim yang memiliki nama asli Muhammad ibnu Ahmad Abu al-Fatah Asy-Syahrastani Asy-Syafi’i lahir di kota Syahrastan provinsi Khurasan di Persia tahun 474 H/1076 M dan meninggal tahun 548 H/1153 M”.[10]

As-Syahrastani mempelejari agama dari semenjak kecil. Ada suatu hal yang mengagumkan darinya, yaitu analisisnya yang sangat kuat terhadap objek yang ditelitinya.

Beliau menuntut ilmu pengetahuan kepada para ulama di zamannya, seperti Ahmad al-Khawafi, Abu al-Qosim al-Anshari dan lain-lain. Sejak kecil beliau gemar belajar dan mengadakan penelitian, terlebih lagi didukung oleh kedewasaannya. Dalam menyimpulkan suatu pendapat beliau selalu moderat dan tidak emosional, pendapatnya selalu disertai dengan argumentasi yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memang menguasai masalah yang ditelitinya.[11]

As-Syahrastani merupakan seorang pengembara dan dalam hidupnya ia senantiasa berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lainnya (nomaden).

Seperti halnya ulama-ulama lainnya beliau gemar mengadakan pengemberaan dari suatu daerah ke daerah lain seperti Hawarizmi dan Khurasan. Ketika usia 30 tahun, beliau berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian menetap di kota Baghdad selama tiga tahun. Di sana beliau sempat memberikan kuliah di Universitas Nizamiyah.[12]

As-Syahrastani memiliki pemikiran yang berbeda dengan pemikiran kaum muslim pada masanya. Pemikiran-pemikiran as-Syahrastani tertuang di dalam banyak kitab karangannya.

Kaum muslimin pada zamannya lebih cenderung mempelajari ajaran agama dan kepercayaan untuk keperluan pribadi yang mereka pergunakan untuk membuktikan kebathilan agama dan kepercayaan lain. Sedangkan asy-Syahrastani lebih cenderung menulis buku yang berbentuk ensiklopedi ringkas tentang agama, kepercayaan, sekte dan pandangan filosof yang erat kaitannya dengan metafisika yang dikenal pada masanya. Asy-Syahrastani mempunyai beberapa buah kerya tulis diantaranya adalah:al-Milal wa al-Nihal, al-Mushara’ah, Nihayah al-Iqdam fi Ilm al-Kalam, al-Juz’u Alladzi la yatajazzu, al-Irsyad ila al-’Aqaid al-’ibad, Syuhbah Aristatalis wa ibn Sina wa Naqdhiha, dan Nihayah al-Auham.[13]

Dalam Kitabnya yang berjudul al-Milal wa al-Nihal, “As-Syahrastani membagi agama menjadi: a) Agama Islam, b) Agama Yahudi dan Kristen (Ahlul Kitab), c) Agama yang memperoleh wahyu dari luar Yahudi dan Kristen, d) Agama menurut pemikiran para ahli filsafat”.[14] Dari pembagian agama ini, maka dari segi pikiran dan kepercayaan, menurutnya manusia terbagi menjadi pemeluk agama-agama dan penghayat kepercayaan. Pemeluk agama-agama dan penghayat kepercayaan tersebut akan mengalami perpecahan menjadi beberapa sekte dan yang akan mendapatkan keselamatan adalah hanya satu sekte.

Pemeluk agama Majusi, Nashrani, Yahudi dan Islam. Penghayat kepercayaan seperti Filosof, Dahriyah, Sabiah dan Barahman. Setiap kelompok terpecah lagi menjadi sekte, misalnya penganut Majusi terpecah menjadi 70 sekte, Nashrani terpecah menjadi 71 sekte, Yahudi terpecah menjadi 72 sekte, dan Islam terpecah menjadi 73 sekte. Dan menurutnya lagi bahwa yang selamat di antara sekian banyak sekte itu hanya satu, karena kebenaran itu hanya satu.[15]

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terpecahnya pemeluk agama-agama dan penghayat kepercayaan tersebut. Dari beberapa faktor tersebut ada satu faktor yang sangat dominan yang menyebabkan terpecahnya pemeluk agama-agama dan penghayat kepercayaan tersebut, yaitu faktor teologis.

Asy-Syahrastani berpendapat bahwa faktor yang mendorong lahirnya sekte-sekte tersebut antara lain adalah; Pertama, masalah sifat dan keesaaan Allah. Kedua, Masalah Qada’ Qadar dan keadilan Allah, jabar dan kasab, keinginan berbuat baik dan jahat, masalah yang berada di luar kemampuan manusia dan masalah yang diketahui dengan jelas (badihiyah). Ketiga, masalah wa’ad (janji), wa’id (ancaman), dan Asma Allah. Keempat, Masalah wahyu, akal, kenabian (nubuwwah), kehendak Allah mengenai yang baik dan yang lebih baik, imamah, kebaikan dan keburukan, kasih saying Allah, kesucaian para nabi dan syarat-syarat imamah. Menurutnya ada empat madzhab di kalangan ummat Muslim, yaitu Syi’ah, Qadariyah, Shifatiyah dan Khawarij. Setiap madzhab bercabang menjadi sekian banyak sekte hingga mencapai 73 sekte.[16]

Dalam Bukunya al-Milal wa al-Nihal, Syahrastani juga memaparkan dengan panjang lebar tentang kepercayaan dan secara umum mengklasifikasikan kepercayaan kepada beberapa kelompok sebagai berikut;

Pertama, Mereka yang tidak mengakui adanya sesuatu selain yang dapat dijangkau oleh indera dan akal, mereka ini disebut kelompok Stoa. Kedua, Mereka yang hanya mengakui sesuatu yang dapat ditangkap oleh organ inderawi dan tidak mengakui sesuatu yang hanya dapat dijangkau oleh akal, mereka ini disebut kelompok materialis. Ketiga, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai melalui indera dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman, mereka ini disebut kelompok filosof athies. Keempat, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai oleh organ inderawi dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman juga tidak mengakui agama Islam, mereka ini disebut kelompok Ash-Shabiah. Kelima, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai indera dan akal dan mempunyai syariat, namun mereka tidak mengakui syariat Muhammad, mereka ini kelompok Majusi, Yahudi dan Nasrani (Kristen). Dan yang Keenam, Mereka yang mengakui semua yang disebut diatas, dan mengakui kenabian Muhammad, mereka itu disebut kelompok Muslim.[17]

4. M. Abduh (Wafat 1905 M)

M. Abduh adalah seorang reformer Islam. “Semasa hidupnya hingga wafat tahun 1905 di sangat berpengaruh di Mesir. Ia pernah menjadi dosen, penulis, pemimpin yang memperbaharui al-Azhar, sebagai mufti besar di Mesir dan menjadi pendiri pergerakan social dan agama”.[18]

M. Abduh merupakan seorang tokoh Perbandingan Agama. Hal ini terbukti dengan kumpulan artikelnya yang diterbitkan dengan judul al-Islam wa al-Nashraniyyah ma’a al-Ilmu wa al-Madaniyyah. Kitab tesebut ditulis olehnya “sebagai jawaban terhadap Farah Antun dalam majalah al-Jami’ah yang menyerang bahwa Islam menekankan kemajuan belajar, terutama dalam masa pengejaran ibnu Rusyd di Spanyol pada abad ke-12”.[19]

Nampaknya pandangan M. Abduh terhadap agama lain di luar Islam masih bersifat apologis. Dalam kitab al-Islam wa al-Nashraniyyah ma’a al-Ilmu wa al-Madaniyyah M. Abduh memberikan pandangan dan penilaian terhadapa agama Kristen. Pandangan dan penilaiannya adalah sebagai berikut:

1) Dasar agama Kristen adalah keanehan-keanehan dan keajaiban. Kitab Injil banyak mengemukakan keajaiban-keajaiban dan atas dasar itulah orang Kristen mempercayai kebenaran. Prinsip tersebut bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan apabila orang Kristen memperpegangi keajaiban, maka orang Kristen tidak memerlukan ilmu pengetahuan.

2) Agama Kristen menghindarkan diri dari dunia seperti adanya hidup membiara dan celibate. Hal tersebut merupakan pengekangan diri bagi yang ingin mementingkan dunia dan ilmu pengetahuan. Hal tersebut didasarkan atas bunyi ayat “Jangan hiraukan hari esok”.

3) Agama Kristen memupuk umatnya agar tetap percaya kepada hal-hal yang aneh walaupun bertentangan dengan ketentuan hukum alam.[20]

Itulah kajian pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di dunia Islam. Lebih jelasnya kajian Ilmu Perbandingan Agama di dunia Islam ini kurang begitu menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Perbandingan Agama itu sendiri.

“…sistematika dan metodologi Ilmu Perbandingan Agama di dunia Islam belum berkembang dan masih perlu dirintis”.[21] Hal ini sangat berbeda dengan sistematika dan metodologi Ilmu Perbandingan Agama di dunia Barat. Di dunia Barat sistematika dan metodologi Ilmu Perbandingan Agama sudah sangat maju. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi majunya pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di dunia Barat dibanding dengan dunia Islam. Adapun faktor-faktornya tersebut adalah sebagai berikut:

1. Para sarjana Barat mendapat kesempatan lebih besar untuk mengkoordinir tenaga.

2. Keuangan mereka cukup, sehingga mudah untuk mengkoordinir hasil penemuan yang mereka peroleh.

3. Sarjana Barat kebanyakan beranggapan bahwa agama itu adalah cabang dari kebudayaan, sehingga lebih leluasa dalam mengemukakan beberapa pendapat dalam teori-teorinya.

Sedangkan di dunia Islam sejak abad ke-18 dilanda kolonialisme dan imperialisme. Dan sampai sekarang segala tenaganya atau perhatiannya dikerahkan untuk membebaskan diri dari penghambaan Barat. Maka tidak heran kalau banyak buku-buku tentang pelbagai agama Timur khususnya agama Islam banyak dikarang oleh orang-orang Barat. Sehingga kalau sarjana-sarjana muslim ingin mempelajari agamanaya sendiri harus tergantung penulisan dan penemuan-penemuan sarjana Barat (orientalis).[22]



[3] Zakiah Daradjat, et. al., Perbandingan Agama (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Jilid 2, hlm. 115.

[4] Ibid.

[6] Zakiah Daradjat, et. al., Loc. Cit., hlm. 116.

[8] Ibid.

[9] Zakiah Daradjat, et. al., Op. Cit., hlm. 116.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Zakiah Daradjat, et. al., Loc. Cit., hlm. 116.

13 http://imoed80.blog.friendster.com/2009/01/tokoh-ilmu-perbandingan-agama-dan-pemikirannya, 10 Mei 2009, Pukul 16.29 WIB.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] Zakiah Daradjat, et. al., Op. Cit., hlm. 126-127.

19 Ibid., hlm. 127.

20 Ibid., hlm. 127-128.

[21] Mujahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1994), hlm. 49.

[22] Ibid., hlm. 50.

BAB III

KESIMPULAN

Selama ini orang-orang beranggapan bahwa kajian mengenai studi agama dimulai pada pertengahan abad sembilan belas Masehi dan dicetuskan oleh sarjana Barat. Anggapan seperti ini adalah suatu anggapan yang sangat keliru karena sebelum pertengahan abad sembilan belas Masehi kajian mengenai studi agama telah ada (baik di Barat maupun Timur).

Kajian mengenai studi agama di dunia Timur (Islam) terlihat pada abad sembilan Masehi. Pada abad ini Ali ibnu Sahl Rabban al-Thabari meletakan dasar-dasar Ilmu Perbandingan Agama. Selain Ali ibnu Sahl Rabban al-Thabari, ternyata banyak juga sarjana muslim yang mengkaji studi agama, diantaranya adalah Ali ibnu Hazm (994-1064 M), Asy-Syahrastani (1071-1143 M) dan M. Abduh (Wafat 1905 M).

Kajian studi agama di dunia Timur lebih bersifat apologis. Tentunya hal ini kurang begitu menguntungkan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. sistematika dan metodologi studi agama di dunia Timur belum berkembang dan masih perlu dirintis.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tidak berkembangnya sistematika dan metodologi studi agama di dunia Timur. Pertama, sejak abad ke-18 dunia Timur dilanda kolonialisme dan imperialisme. Sampai sekarang segala tenaganya atau perhatiannya dikerahkan untuk membebaskan diri dari penghambaan Barat. Kedua, keuangan (dana) yang kurang memadai untuk mengadakan penelitian mengenai studi agama. Ketiga, kesempatan para sarjana Timur untuk mengkaji studi agama di dunia Barat secara langsung sangat sulit karena ada desakan dari kaum imperialis Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar