Kamis, 17 Desember 2009

PEMIKIRAN EPISTEMOLOGI CHARLES SANDERS PEIRCE

BAB I

BIOGRAFI SINGKAT CHARLES SANDERS PEIRCE

Charles Sanders Peirce (1839-1914) dilahirkan di Cambridge, dia merupakan anak dari seorang ahli matematika Universitas Harvard, dia merupakan seorang ahli ilmu pengetahuan dan seorang filosof. [1] “Keahliannya dibidang ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas pada diskursus geologi, kimia, dan fisika, tetapi juga termasuk apresiasi prosedur yang digunakan oleh para pendahulu yang sukses dalam meningkatkan pengetahuan”.[2]

Peirce menghabiskan pendidikannya di Universitas Harvard. “Sebelum masuk ke Harvard, pada usia 16 tahun, Peirce sudah melakukan training di laboratorium kimia selama sepuluh tahun, dan telah membaca logika Whitely. Pendidikannya dikonsentrasikan pada filsafat dan ilmu-ilmu fisika”.[3] Sehingga tidak heran, “dia menerima gelar Master of Art (M.A.) dalam bidang matematika dan kimia, serta dia bekerja selama tiga tahun pada observatorium astronomi Universitas Harvard”.[4]

Peirce memiliki kesamaan dengan ayahnya. …”ayahnya adalah seorang guru besar matematika dan bekerja pada Coastal and Geodetic Survey selama beberapa tahun”.[5] Tidak mengherankan, “pada tahun 1861 sampai 1891 dia bergabung dengan U. S. Coastal & Geodetic Survey.[6] Selain itu Peirce juga memiliki kesibukan menjadi seorang dosen pada salah satu universitas. “Dia memberikan kuliah di Johns Hopkins University, akan tetapi ia tidak pernah tetap memberikan kuliah kecuali di Johns Hopkins University saja”.[7]

“Peirce menikah pada 1862 dengan Marriet Melunisia Inadequasies yang akrab dengan panggilan Zina, feminis pertama di Amerika. Ia merupakan semangat pembaruannya dengan mengajak Peirce ke dalam persekutuan gereja Episcopal”.[8] Peirce pun sempat bertemu bahkan berteman akrab dengan William James. Peirce memproduksi banyak teori ilmu pengetahuan, kemudian William James mempropagandakannya. “Walaupun dia menyesali propaganda gagasannya oleh William James, James adalah seorang teman setia Peirce yang memperkenalkan teori-teori Peirce kepada masyarakat cendekia”.[9]

Peirce juga merupakan seorang aktivis. Disela-sela kesibukannya, Peirce masuk ke dalam berbagai kelompok kajian ilmiah. “Peirce menjadi anggota pelbagai kelompok ilmiah dan menghasilkan banyak makalah tetapi tidak pernah menulis buku. Kumpulan karangannya dikumpulkan sebagai buku setelah ia meninggal”.[10] Peirce berhasil menggabungkan dua cara berpikir, yaitu deduksi dan induksi serta memperkenalkannya dengan sebutan abduksi. “Peirce memperkenalkan tiga tipe cara berpikir didalamnya merupakan penjumlahan dari bentuk standar dua, yaitu deduksi dan induksi yang dia sebut sebagai abduksi yang mana setelah itu abduksi dikenal sebagai cara berpikir menuju penjelasan yang terbaik”.[11] Selain itu dia juga merupakan seorang tokoh pendiri salah satu aliran filsafat, yaitu pragmatisme. … “pragmatisme (berasal dari bahasa Yunani, yaitu pragma yang berarti tindakan atau keputusan) yang mana menegaskan sifat dasar kegunaan untuk filsafat”.[12] Banyak sekali pemikiran yang dicetuskan oleh Peirce, hingga akhirnya pada tahun 1914 dia meninggal dunia.



[1] Louis P. Pojman, Classic of Philosophy, Vol. II (New York: Oxford University Press, 1998), hlm. 1052

[2] Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi M. Iqbal dan Charles S. Peirce (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hlm. 71

[3] Ibid.

[4] Louis P. Pojman, Classic of Philosophy…, hlm. 1052

[5] Bosco Carvalo, et. al., Ilmu Pengetahuan dan Metodenya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: 1988), hlm. 152

[6] Louis P. Pojman, Classic of Philosophy…, hlm. 1052

[7] Ibid.

[8] Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi M. Iqbal dan Charles S. Peirce…, hlm. 72

[9] Louis P. Pojman, Classic of Philosophy…, hlm. 1052

[10] Bosco Carvalo, et. al., Ilmu Pengetahuan dan Metodenya…, hlm. 152

[11] Louis P. Pojman, Classic of Philosophy…, hlm. 1052

[12] Ibid.


BAB II

PEMIKIRAN EPISTEMOLOGI CHARLES SANDERS PEIRCE

1. Teori Inkuiri (Theory of Inquiry)

Teori inkuiri ini bertitik tolak dari keyakinan (belief) dan keraguan (doubt). Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang pasti dialami oleh manusia. Adakalanya manusia itu yakin sepuh hati dan pikiran terhadap sesuatu dan adakalanya manusia itu ragu atau skeptis terhadap sesuatu. Peirce mencetuskan teori inkuiri (theory of inquiry) ini bertitik tolak dari klaim Descartes atas keyakinan dan keraguan.

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai teori inkuri ini, maka kita kaji terlebih dahulu konsep Descartes mengenai keyakinan dan keraguan itu. Descartes sangat radikal dalam memahami keraguan sebagai satu-satunya cara untuk mengantarkan manusia pada keyakinan akan kebenaran yang sesungguhnya. Dr. Hj. Rodliyah Khuza’i, M. Ag. Menjelaskan:

Ia (Descartes) menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan. Salah satu cara untuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan ialah melihat seberapa jauh bisa diragukan. Keraguan bila diteruskan sejauh-jauhnya, akhirnya akan membuka tabir yang tidak bisa diragukan, kalau hal itu ada. Prosedur yang disarankan Descartes disebut “keraguan universal” karena direntang tanpa batas atau sampai keraguan itu membatasi diri; disebut metodik karena keraguan ini merupakan cara yang digunakan oleh penalaran reflektif untuk mencapai kebenaran sebagai usaha yang dilakukan budi.[13]

Keraguan universal (universe doubt) didasarkan pada suatu ungkapan Descartes sendiri, yaitu “cogito ergu sum”, artinya adalah: "aku berpikir maka aku ada". [14] Untuk lebih jelasnya lagi adalah sebagai berikut:

Jika dijelaskan, kalimat "cogito ergo sum" berarti sebagai berikut. Descartes ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri.

Descartes berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah. Ia takut bahwa mungkin saja berpikir sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran. Mungkin saja bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran, namun sebaliknya membawanya kepada kesalahan. Artinya, ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah.[15]

Bertitik tolak dari pemikiran Descartes di atas, maka Peirce pun tergugah untuk meluncurkan kritikan terhadap pemiran Descartes tersebut. Robert Audi menjelaskan:

Peirce menggunakan definisi keyakinan Bain sebagai sesuatu yang menjadikan seseorang siap untuk bertindak sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan itu menuntun kepada tindakan, dan sebagai suatu kandungan keyakinan, suatu proposisi dapat diperlakukan sebagai suatu tingkah laku atau tindakan. Menurut Peirce, keyakinan merupakan suatu kepuasan (a satisfactory) dan suatu keadaan yang sangat diperlukan (desirable state), mengingat keyakinan itu bertentangan dengan keraguan, keraguan merupakan suatu keadaan yang tidak memuaskan (an unsatisfactory state).[16]

Dalam “Some Consequences Four Incapacities” seperti yang dikutip oleh Dr. Hj. Rodliyah Khuza’i, M. Ag. dari Susan Haack, bahwa “metode keraguan (method of doubt) adalah tidak mungkin, tetapi selalu mulai dengan keyakinan (awal) yang telah kita miliki (hipotesis)”.[17] Menurut Peirce, “metode keraguan tidak mungkin karena tidak ada proposisi yang pasti. Karena Descartes hanya menggunakan satu ikatan (monisme), pendapat tersebut tidak kuat”.[18]

Perbedaan yang mendasar antara Descartes dan Peirce ini dapat dilihat dalam table yang dikutip oleh Dr. Hj. Rodliyah Khuza’i, M. Ag. dari Susan Haack sebagai berikut:

Descartes

Peirce

1) Methode of doubt

2) Individualism, certainty of self-consciousness rejection of tradition, authority

Method of doubt imposible: doubt no voluntary, requires specific reason. Must begin with the belief we have.

Community-oriented devine truth, reality via inter-subjective agreement. Individual as locus of ignorance, error. Self consciousness learned via interaction with other. All thought is public signs.

Tabel 2.1.1

Sumber: Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi M. Iqbal dan Charles S. Peirce (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hlm. 84

Peirce tidak berhenti sampai di sini, ternyata dia memberikan kontribusi yang konstruktif dalam menuntaskan masalah keyakinan dan keraguan tersebut. Untuk menyelesaikan kedua hal tersebut, maka Peirce melakukan penyelidikan (inquiry). Robert Audi menjelaskan:

Point pertama penyelidikan (inquiry) pada umumnya bertolak dari beberapa fenomena yang mengejutkan, dan itu merupakan ketidakkonsistenan dengan keyakinan-keyakinan yang telah diterima seseorang sebelumnya, dan oleh karena itulah terciptalah suatu keadaan ragu (a state of doubt). Kegunaan penyelidikan ini adalah untuk menempatkan kembali keadaan ini berdasarkan keyakinan; “satu-satunya tujuan atau maksud penyelidikan adalah mencapai penyelesaian opini”. Suatu kesuksesan penelitian pasti menghasilkan opini yang kuat, kepercayaan itu tidak perlu selanjutnya jadi menyerah. Peirce memandang kekuatan atau stabilitas opini yang pokok sebagai suatu kriteria kebenaran dan realitas: “yang nyata itu…adalah yang tadinya cepat atau lambat, informasi dan alasan pada akhirnya akan menghasilkan pengaruh, dan yang mana itu adalah….[19]

2. Teori Makna (Theory of Meaning)

Teori makna ini sangat erat sekali dengan aliran pragmatisme. Pragmatisme itu sendiri merupakan salah satu aliran filsafat yang digagas oleh Peirce. “Istilah pragmatisme ini diangkat dari Kant oleh C. S. Peirce. Kant membedakan yang praktis- yang berkaitan dengan kehendak dan tindakan- dari yang pragmatik- yang bertalian dengan akibat-akibat. Peirce mengasalkan teori makna ini dari ide”.[20]

Teori makna ini erat juga kaitannya dengan semiotika. “Semiotika: Inggris: semantics, Yunani: semanticos (berarti) semainen (mengartikan) dan sema (tanda). Semiotik: ilmu yang mempelajari komunikasi melalui lambang-lambang (tanda-tanda)”.[21] Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity” [22], artinya adalah tanda adalah sesuatu yang berarti untuk seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas.

Pembahasan mengenai semiotika ini lebih jauhnya insya Allah akan dibahas dalam point berikutnya, yang jelas mengenai teori makna ini Robert Audi menjelaskan:

Peirce mengasalkan teori makna dari ide ini. Kriteria makna adalah prinsip pragmatik: “Simaklah apa akibat-akibat yang mempunyai sangkut paut praktis yang dapat dibayangkan, maka kita membayangkan objek yang akan dimiliki oleh konsepsi kita. Nah konsepsi kita tentang akibat-akibat ini merupakan konsepsi kita tentang objek itu”. Dia menjadikan teori ini sentral filsafatnya.[23]

Berdasarkan keterangan ini, maka kita data menarik suatu kesimpulan. Kesimpulannya adalah ide, gagasan atau konsepsi yang baik itu adalah ide, gagasan atau konsepsi yang sesuai dengan konsekuensi praksisnya (akibat-akibatnya).

3. Logika sebagai Suatu Metodologi (Logic as a Methodology)

“Secara etimologis, logika berasal dari bahasa Latin: Logica; bahasa Inggris: Logic; dan bahasa Yunani: Logike atau logikus (apa yang termasuk ucapan yang dapat dimengerti) atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, sistematis, dan dapat dimengerti”.[24] Menurut Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, “logika adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang watak dan problem-problem pemikiran yang jelas dan tepat”.[25] Menurut Justus Buchler, ‘logika merupakan nama lain bagi semiotic, yaitu doktrin tentang sign’.[26]

Dalam bukunya yang berjudul “Dialog Epistemologi; Mohammad Iqbal dan Charles S. Peirce”, Dr. Hj. Rodliyah Khuza’i, M. Ag. menjelaskan, menurut Peirce, logika itu terdiri dari tiga bagian, yaitu speculative grammar, critical logic, dan speculative rethoric. speculative grammar merupakan suatu elemen yang sangat erat sekali kaitannya dengan persyaratan formal I (dari kata form: bentuk) bagi kebermaknaan suatu isyarat atau “lambang” (sign). critical logic merupakan konsentrasi pada persyaratan-persyaratan formal serta kebenaran berbagai symbol, atau hubungan antara berbagai “lambing” dengan objeknya. Dalam critical logic ini Peirce menggunakan silogisme yang terdiri dari deduksi, induksi dan abduksi. Deduksi dan induksi sering kita dengar dalam kajian keilmuaan, akan tetapi abduksi ini jarang disinggung dalam kajian keilmuan. “Abduksi: Inggris: abduction. Istilah ini berasal dari bahasa Latin ab (jauh dari, dari) dan ducere (mengantar). Arti harfiah istilah ini ialah menarik dari, keluar dari”.[27] Lebih jelasnya abduksi ini adalah sebagai berikut:

Abduksi adalah cara pembuktian yang memungkinkan hipotesis-hipotesis dibentuk. Pembuktian abduksi bertolak dari sebuah kasus particular menuju sebuah eksplanasi yang mungkin tentang kasus itu. Sebagaimana dalam Aristoteles, demikian pula bagi Peirce abduksi merupakan bentuk inferensi yang probable, artinya tidak memberikan kepastian mutlak. Fakta (F) yang menimbulkan tanda tanya diteliti atau diamati. Jika hipotesis (H) benar, F adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Oleh karena itu, H (mungkin) benar.[28]

Sedangkan speculative rethoric adalah yang berakaitan dengan syarat-syarat formal kekuatan symbol, atau syarat-syarat umum yang menunjukan suatu symbol bagi orang yang menafsirkan (interpreter) sesuai dengan makna yang diinginkan.

4. Fokus Falsifikasi (Falsification Focus)

Menurut A. F. Chalmer, ‘Falsifikasi dalam bahasa Inggris falsification adalah suatu keadaan salah, tidak benar’.[29] Falsifikasi berbeda dengan verifikasi. A. F. Chalmer menjelaskan:

Falsifikasi adalah teori yang menyatakan bahwa suatu dalil itu benar bukan karena diverifikasi secara empiris, melainkan dalil itu benar karena difalsifikasikan dengan pengandaian, bahwa pengujian seperti itu mungkin saja terjadi. Dengan kata lain, suatu dalil dikatakan salah jika pengalaman membuktikan bahwa dalil itu salah, maka dalil itu benar.[30]

Falsifikasi ini sangat erat sekali hubungannya dengan fallibilisme. “Fallibilisme adalah suatu pendapat bahwa setiap manusia dapat berbuat kekeliruan atau kesalahan, sekalipun ia seorang yang sangat pandai”.[31] Dr. Hj. Rodliyah Khuza’i, M. Ag. memaparkan secara rinci mengenai falsifikasi dengan fallibilsme ini.

Falibilism dalam teori peirce masuk ke dalam teori metode ilmiah. Ia merupakan karakteristik mental Peirce sebagai individu. Ia menawarkan falibilsm sebagai salah satu dari sumber filsafatnya. Objek ilmu pengetahuan apa saja dapat difalsifikasi, sedangkan karakter ilmu pengetahuan, baik realitas maupun yang berubah, dari sini ilmuan menjalani karyanya dengan semangat dan harapan. Tetapi realitas itu di luar akal, tidak bergantung pada aktivitas akal. Adapun subjek menuju berbagai kemungkinan. Oleh karena itu, peneliti tidak pernah mencapai penelitian yang mutlak.[32]



[13] Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi M. Iqbal dan Charles S. Peirce (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hlm. 23

[14] http://id.wikipedia.org/wiki/Cogito_ergo_sum, 5 Desember 2009, Pukul 15. 31 WIB.

[15] Ibid.

[16] Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy, Second Edition (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hlm 652

[17] Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi M. Iqbal dan Charles S. Peirce (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hlm. 83

[18] Ibid. hlm. 84

[19] Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy, Second Edition…, hlm. 652

[20] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 878

[21] Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi M. Iqbal dan Charles S. Peirce…, hlm. 4

[22] http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika, 6 Desember 2009, Pukul 09. 30 WIB

[23] Lorens Bagus, Kamus Filsafat …, hlm. 878

[24] Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi M. Iqbal dan Charles S. Peirce…, hlm. 114

[25] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arloka, 1994), hlm. 417

[26] Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi M. Iqbal dan Charles S. Peirce…, hlm. 114

[27] Lorens Bagus, Kamus Filsafat…, hlm. 1

[28] Ibid. hlm. 1-2

[29] Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi M. Iqbal dan Charles S. Peirce…, hlm. 126

[30] Ibid.

[31] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer…, hlm. 168

[32] Ibid.


BAB III

KESIMPULAN

Teori inkuiri ini bertitik tolak dari keyakinan (belief) dan keraguan (doubt). Konsep keyakina Descartes sangat kontras dengan konsep keyakinan Peirce. Bagi Descartes, untuk mendapatkan keyakinan yang seutuhnya, maka manusia harus meragukan segala sesuatu yang diketahuinya termasuk diri sendiri, kemudian akal atau rasio didayagunakan untuk mencari keyakinan ditengah-tengah keraguan itu. Lain lagi dengan Peirce, Menurut Peirce, keyakinan merupakan suatu kepuasan (a satisfactory) dan suatu keadaan yang sangat diperlukan (desirable state), mengingat keyakinan itu bertentangan dengan keraguan, keraguan merupakan suatu keadaan yang tidak memuaskan (an unsatisfactory state). Bagi Peirce tidak mungkin manusia dapat melepaskan keyakinan seutuh-utuhnya. Peirce tidak berhenti sampai di sini, akan tetapi Peirce menyarankan penyelidikan (inquiry) untuk mencapai keyakinan yang seutuhnya. Kegunaan penyelidikan ini adalah untuk menempatkan kembali keadaan ini berdasarkan keyakinan; satu-satunya tujuan atau maksud penyelidikan adalah mencapai penyelesaian opini.

Teori makna ini sangat erat sekali dengan aliran pragmatism. Begitu juga teori makna ini erat juga kaitannya dengan semiotika. Peirce mengasalkan teori makna dari ide ini. Kriteria makna adalah prinsip pragmatik: “Simaklah apa akibat-akibat yang mempunyai sangkut paut praktis yang dapat dibayangkan, maka kita membayangkan objek yang akan dimiliki oleh konsepsi kita. Nah konsepsi kita tentang akibat-akibat ini merupakan konsepsi kita tentang objek itu”. Dia menjadikan teori ini sentral filsafatnya. Dengan demikian, ide, gagasan atau konsepsi yang baik itu adalah ide, gagasan atau konsepsi yang sesuai dengan konsekuensi praksisnya (akibat-akibatnya).

Logika bagi Peirce merupakan salah satu metodologi. menurut Peirce, logika itu terdiri dari tiga bagian, yaitu speculative grammar, critical logic, dan speculative rethoric. speculative grammar merupakan suatu elemen yang sangat erat sekali kaitannya dengan persyaratan formal I (dari kata form: bentuk) bagi kebermaknaan suatu isyarat atau “lambang” (sign). critical logic merupakan konsentrasi pada persyaratan-persyaratan formal serta kebenaran berbagai symbol, atau hubungan antara berbagai “lambing” dengan objeknya. Dalam critical logic ini Peirce menggunakan silogisme yang terdiri dari deduksi, induksi dan abduksi. Sedangkan speculative rethoric adalah yang berakaitan dengan syarat-syarat formal kekuatan symbol, atau syarat-syarat umum yang menunjukan suatu symbol bagi orang yang menafsirkan (interpreter) sesuai dengan makna yang diinginkan.

Falsifikasi dalam bahasa Inggris falsification adalah suatu keadaan salah, tidak benar. Falsifikasi sangat berbeda dengan verifikasi. Falsifikasi ini sangat erat sekali hubungannya dengan fallibilisme. Fallibilisme adalah suatu pendapat bahwa setiap manusia dapat berbuat kekeliruan atau kesalahan, sekalipun ia seorang yang sangat pandai.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Barry, Pius A. Partanto dan M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka, 1994

Audi, Robert, The Cambridge Dictionary of Philosophy, Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press, 1999

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996

Carvalo, Bosco, et. al., Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: 1988

http://id.wikipedia.org/wiki/Cogito_ergo_sum, 5 Desember 2009, Pukul 15. 31 WIB

http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika, 6 Desember 2009, Pukul 09. 30 WIB

Khuza’i, Rodliyah, Dialog Epistemologi M. Iqbal dan Charles S. Peirce. Bandung: PT Refika Aditama, 2007

Pojman, Louis P., Classic of Philosophy, Vol. II. New York: Oxford University Press, 1998