Jumat, 11 Desember 2009

ANALISIS DAN PERBANDINGAN ALIRAN-ALIRAN KALAM

ANALISIS DAN PERBANDINGAN ALIRAN-ALIRAN KALAM

Analisis dan perbandingan aliran-aliran kalam yang dimaksud di sini adalah analisis dan perbandingan pemikiran yang terjadi dalam aliran-aliran kalam. Dalam pembahasan ini ada beberapa pemikiran kalam yang menjadi sorotan untuk analisis dan perbandingan aliran-aliran kalam, yaitu mengenai akal dan wahyu, fungsi wahyu, kehendak dan kekuasaan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, keadilan Tuhan, free will dan predestination dan konsep iman.

1. Akal dan Wahyu

Ada beberapa aliran kalam yang tertarik untuk memperbincangkan mengenai akal dan wahyu. Aliran-aliran kalam yang dimaksud ini adalah Mu’tazilah, Asy‘ariyah dan al-Maturidiyah. Masing-masing dari aliran ini memberikan pandang pemikirannya mengenai akal dan wahyu.

Mu’tazilah merupakan salah satu aliran kalam yang sangat rasional. Makanya tidak heran ketika memberikan pandangan pemikirannya mengenai akal dan wahyu, maka Mu’tazilah lebih mengutamakan akal ketimbang wahyu. Sumber pengetahuan yang paling utama bagi Mu’tazilah adalah akal. Dalam memahami sesuatu, maka orang-orang Mu’tazilah menggunakan wahyu terlebih dahulu kemudian mencocokannya dengan wahyu untuk mendukung kebenaran. Mereka akan terus mengeksplor akal mereka kendatipun wahyu bertentangan dengan akal. Sebagaimana Drs. Sudarsono, SH. M. Si. menjelaskan.

Menurut kaum Mu’tazilah sumber pengetahuan yang paling utama adalah akal, sedangkan wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi pertentangan antara ketetapan akal dan ketentuan wahyu, maka yang diutamakan adalah ketetapan akal. Adapun ketentuan wahyu kemudian ditakwilkan sedemikian rupa supaya sesuai dengan ketetapan akal.[1]

Walaupun demikian, Mu’tazilah tidak meninggalkan wahyu. Sebagaimana Drs. Abuddin Nata, M. A. menjelaskan, …”sungguhpun kaum Mu’tazilah banyak mempergunakan rasio, namun mereka tidak meninggalkan wahyu. Dalam pemikiran-pemikirannya, mereka selalu terikat kepada wahyu yang ada dalam Islam”.[2]

Menurut Asy‘ariyah, akal dan wahyu memiliki fungsi yang berbeda Fungsi akal sangat kontradiksi dengan fungsi wahyu.

Fungsi akal adalah untuk mengetahui hal-hal yang konkrit/masalah fisika saja. Ia tidak berkuasa mengetahui hal-hal yang bersifat abstrak atau metafisik. Terutama dalam hal ketuhanan; akal tidak mampu untuk mengetahui tugas-tugas kewajiban manusia kepada Tuhannya. Ia tidak mampu mengetahui hukum-hukum yang baik serta yang buruk, juga tentang mana yang wajib dikerjakan dan mana yang mesti ditinggalkan. Sedang fungsi wahyu sangat luas dan tidak terbatas. Ia pemberi informasi kepada manusia tentang hal-hal yang bersifat metafisik, menyingkap rahasia yang bersifat abstrak dan gaib bagi manusia.[3]

“Al-Asy’ari kelihatannya ingin memakai wahyu dan akal secara seimbang dalam membahas soal-soal agama, namun wahyu namapak lebih diutamakan daripada akal. Akal hanya berfungsi sebagai alat untuk memperkuat terhadap apa yang ditegaskan oleh wahyu”.[4]

Al-Maturidiyah terbagi menjadi dua, yaitu Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand. Keduanya berbeda pendapat dalam memahami akal dan wahyu. “Jika Maturidi Samarkand mewajibkan mengetahui Tuhan dengan akal, sedangkan Maturidi Bukhara tidak demikian”.[5] “Wahyu bagi golongan pertama perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedang menurut pendapat golongan kedua wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia”.[6]

3. Kehendak dan Kekuasaan Tuhan

Allah berkehendak terhadap segala sesuatu yang mungkin (makhluk). Istilah lain untuk kehendak Allah ini adalah iradatullah. Selain itu Allah juga berkuasa terhadap segala sesuatu yang mungkin (makhluk). Istilah lain untuk kekuasaan Allah ini adalah qudratullah.

Aliran kalam yang membahas masalah kehendak dan kekuasaan Tuhan ini adalah Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Masing-masing dari aliran ini memberikan pandang pemikirannya mengenai kehendak dan kekuasaan Tuhan.

Menurut Qadariyah, manusia itu memiliki kekuatan tersendiri untuk melaksanakan kehendaknya. Dalam hal melaksanakan kehendaknya, maka manusia itu sama sekali tidak dikuasai oleh Tuhan. Sebagaimana Drs. Abuddin Nata, M.A. menjelaskan, “Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya itu. Dalam menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan, tanpa ada campur tangan Tuhan”.[7] Selanjutnya Ghailan menjelaskan, ‘manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan atas kehendak dan kekuasaannya sendiri, dan manusia pula yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri’.[8] “Dalam istilah Inggrisnya paham ini selanjutnya dikenal dengan nama free will dan free act”.[9]

Menurut Jabariyah, manusia itu tidak memiliki kekuatan tersendiri untuk melaksanakan kehendaknya. Dalam hal melaksanakan kehendaknya, maka manusia itu dikuasai oleh Tuhan. Jadi aliran ini merupakan kebalikan dari aliran Qadariyah. Sebagaimana Drs. Abuddin Nata, M.A. menjelaskan:

Dalam istilah Inggris Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar Tuhan. Dengan demikian posisi manusia dalam paham ini tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Oleh karena itu aliran Jabariyah ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul melakukan perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.[10]

Menurut Mu’tazilah, manusia itu memiliki kekuatan tersendiri untuk melaksanakan kehendaknya. Dalam hal melaksanakan kehendaknya, maka manusia itu sama sekali tidak dikuasai oleh Tuhan. Dalam hal ini Mu’tazilah memiliki kesamaan pemikiran dengan Qadariyah. Tuhan memang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang paling tinggi, akan tetapi untuk menunjukan ke Maha Adilan-Nya, maka manusia diberikan kebebasan untuk melakukan hal yang baik dan buruk. Sebagaimana Dr. Fuad M. Fachruddin menjelaskan:

Manusia mempunyai iradat/kemauan yang membawa mereka kepada perbuatan yang dilakukannya. Allah memiliki hak menentukan segala sesuatu, Allah menentukan yang baik dan yang jahat. Allah ingin manusia melakukan kebaikan dan menjauhkan diri dari kejahatan. Tetapi tidak ada paksaan. Allah pun menyuruh manusia melakukan sesuatu menurut kemampuannya. Allah telah memberikan kodrat kepada manusia yang dengannya ia dapat bertindak dan melakukan sesuatu. Memang Allah mempunyai kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi, tetapi menurut keadilan-Nya Ia tidak memaksa manusia itu untuk melakukan sesuatu hanya Allah ingin manusia itu melakukan yang baik dan meninggalkan yang tidak baik. Oleh karena keadilan ini Allah tidak melakukan sesuatu yang tidak baik.[11]

Asy’ariyah menolak pemikiran Qadariyah dan Mu’tazilah mengenai kehendak dan kekuasaan Tuhan. Ia pun menolak pemikiran Jabariyah dalam hal kehendak dan kekuasaan Tuhan. Kemudian Asy’ariyah menawarkan teori kasab sebagai jalan keluarnya, akan tetapi akhirnya dalam hal kehendak dan kekuasaan Tuhan Asy’ariyah tidak jauh berbeda dengan Jabariyah. Sebagaimana Drs. Abuddin Nata, M.A. menjelaskan:

Kasab meneurut al-Asy’ari bukanlah berarti usaha atau perbuatan; tetapi perolehan. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia, dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasab baginya. Perbuatan-perbuatan manusia menurut al-Asy’ari bukanlah diwujudkan oleh manusia itu sendiri, tetapi diwujudkan oleh Tuhan; perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan itulah yang diperoleh manusia, dan kasab atau perolehan itupun diciptakan oleh Tuhan.

Untuk memperkuat alasan tersebut al-Asy’ari mengemukakan firman Allah SWT. dalam surat as-Shaffat ayat 96 sebagai berikut:

ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès?

Dan Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat ".

Dari uraian tersebut, terlihat bahwa al-Asy’ari sebenarnya adalah penganut paham Jabariyah. Dengan paham kasabnya itu ia nampaknya ingin menolak paham Jabariyah, namun setelah melalui jalan berbelit-belit, akhirnya ia kembali kepada Jabariyah juga.[12]



[1] Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hlm. 5-6.

[2] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 22.

[3] Sudarsono, Filsafat Islam…hlm. 11.

[4] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf…hlm. 75.

[5] Ibid., hlm. 77.

[6] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf…hlm. 77.

[7] Ibid., hlm. 37.

[8] Ibid.

[9] Ibid., hlm. 22.

[10] Ibid., hlm. 40.

[11] Sudarsono, Filsafat Islam…hlm. 7.

[12] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf…hlm. 74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar