Minggu, 04 Juli 2010

LIMA PILAR SYARI'AT ISLAM

PENDAHULUAN


Islam memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan agama-agama lain. Agar ajaran Islam bisa dipahami dengan benar dan komprehensif, berbagai aspek yang berkenaan dengan Islam perlu dikaji secara saksama. Pemahaman ajaran Islam dengan benar dapat memengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku dalam menghadapi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan Islam.

Islam dalam pengertian Arab disebut dinul Islam. Kata Islam berasal dari kata kerja aslama yang artinya menyerah, tunduk, atau patuh. Dari asal kata aslama ini didefinisikan menjadi beberapa arti, yaitu salam yang artinya keselamatan, taslim artinya penyerahan, salam yang artinya memelihara, sullami artinya titian, dan silm artinya perdamaian. Dinul Islam mengandung pengertian peraturan yang diwahyukan oleh Allah SWT. kepada para rasul untuk ditaati dalam rangka menciptakan keselamatan, kesejahteraan, dan perdamaian bagi umat manusia.

Salah satu bentuk ajaran Islam adalah mengenai syari’ah. Syari’ah mempunyai tujuan dalam menetapkan suatu keputusan hukum. Ketetapan hukum bagi mukallaf itu ada yang disebut wajib (al-ijab), sunnah (an-nadb), haram (at-tahrim), makruh (al-karaahah), dan mubah (al-ibaahah). Dengan demikian, hukum-hukum syari’ah itu memiliki argumentasi (mu’allalah) yang dapat dipahami oleh akal manusia sebagai makhluk yang terbebani hokum (mukallaf).

“Jumhur ulama baik salaf ataupun khalaf berpendapat, secara umum hukum-hukum syari’ah adalah mu’allalah, dan mempunyai tujuan dalam setiap hukum yang ditetapkan, dan bahwa secara garis besar tujuan, illah dan hikmah hukum-hukum tersebut dapat dipahami, bahkan dalam sebagian hukum dapat dipahami rinciannya. Hanya sebagian hukum yang berkaitan dengan ibadah mahdah karena suatu hikmah pula tidak diketahui manusia tujuannya secara detail”. [1] Tidak diragukan lagi oleh semua orang yang mempelajari syari’ah bahwa syari’ah Islam membangun hukum-hukumnya atas dasar ri’ayah maslahah manusia, menolak mafsadah dari mereka, dan merealisasikan kebaikan untuk mereka. Hal ini sesuai dengan tujuan diutusnya Nabi kepada manusia, seperti dalam firman Allah dalam surah Al-Anbiya (21): 107:

“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. [2]

Lima pilar dalam syari’at muncul untuk memperkokoh bangun syari’at Islam. Lima pilar itu adalah “memelihara agama (hifdzh al-din), memelihara jiwa (hifzh al-nafs), memelihara akal (hifzh al-‘aql), memelihara keturunan (hifzh al-nasl), dan memelihara harta (hifzh al-maal). [3] Kelima pilar penopang syari’ah ini harus senantiasa diperhatikan, karena kehidupan manusia tidak akan tegak tanpa keberadaannya. Kelima pilar ini dalam ilmu ushul fiqih dikenal dengan istilah dharuriyat yang lima (الضروريات الخمسة).

PEMBAHASAN
LIMA PILAR SYARI’AT ISLAM

1. Memelihara Agama (Hifdzh Al-Din/حفظ الدّين)

Hifdzh Al-din secara bahasa adalah menjaga atau mempertahankan agama, artinya Islam sangat menjunjung tinggi terhadap nilai keutuhan umat dengan menumbuhkan rasa nasionalisme tinggi terhadap agama dan bangsa, sehigga hal-hal yang dapat mempengaruhi terhadap keutuhan Islam sangat diperhatikan, demi menumbuhkan rasa nasionalisme itu Islam membuat peraturan jihad (perang) bagi siapa saja yang mencoba untuk memperkeruh keutuhan ummat, karena Islam sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan kesatuan dan Islam juga merupakan agama yang mulia dan tidak ada yang lebih mulya dari Islam ”al islamu ya’lu wala yu’la ‘alaihi”.

Kewajiban untuk berjihad dalam Islam sangat erat sekali kaitannya dengan memelihara agama. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Baqoroh (2): 193 sebagai berikut:

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. [4]

Berdasarkan ayat di atas, “tujuan disyari’atkannya perang adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dan mengajak umat manusia untuk menyembah Allah”. [5]

Keputusan hukum mati bagi yang murtad bukanlah tanpa alasan semata. Pada dasarnya hukuman tersebut adalah untuk memelihara agama Islam. Sebelum kepada vonis hukuman mati, maka seorang yang murtad diberikan pilihan terlebih dahulu, apakah ia mau bertobat atau tidak? “Jika dia bertobat yakni kembali kepada Islam, yaitu mengakui dua syahadat dengan tertib, pertama kali beriman kepada Allah, lalu kepada utusan-Nya, maka urusan selesai. Jika dibalik, maka tidak syah sebagaimana Nawawi dalam syarah Muhadzab ketika berbicara tentang niat wudhu”. [6] Itulah tahap pertama jika memang orang yang murtad itu kembali sadar pada rel atau jalan yang benar.
Jika dia tidak bertobat, maka dia dibunuh. Yakni pemerintah membunuhnya jika ia merdeka dengan memenggal kepalanya, bukan dengan membakar atau dengan sejenisnya. Dari Ibnu Abbas dia berkata, Nabi SAW. bersabda:


مّنْ بَدّّّّلَ دِيْنَهُ فَقْتُلُوْهُ. رَوَاهُ الْبُخَارِى
Barang siapa yang siapa yang mengganti agamanya (Islam), maka bunuhlah. (HR Al-Bukhori)

Dan berdasarkan sabda Nabi:

لاَ يَحِلُّ دَامٌ امْرِىءٍمُسْلِمٍ إِلّاَ بِإِحْدىَ ثَلَاثٍ:... الْمُفَارِقُ لِدِيْنِهِ الْتَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ. رَوَاهُ الْبُخَارِى وَمُسْلِمٌ
Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu dari tiga hal: …(karena) meninggalkan agamanya serta meninggalkan jama’ah. (HR Al-Bukhori dan Muslim). [7]

Pemeliharaan terhadap agama juga dapat dilakukan dengan ibadah-ibadah wajib, sebagaimana juga iman, syahadat, shalat, puasa dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk menjaga agama. Rincian lebih jelasnya lagi adalah sebagai berikut:
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :
a Memelihara agama dalam tingkat dharuriyah yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama;
b) Memelihara agama dalam peringkat hajiyah yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghidari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya kita mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c) Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya membersihkan badan, pakaian dan tempat. [8]

2. Memelihara Jiwa (Hifzh Al-Nafs/حفظ النّفس)

Hifdzh An-nafsi artinya menjaga dan mempertahankan jiwa. Setiap manusia diberi kebebasan dan diberi hak untuk melindungi diri dari berbagai macam bentuk uaha-usaha yang dapat melukai dirinya maupun orang yang menjadi tanggunganya (istri, anak, budak dan yang menjadi tanggunganya). Untuk itu dalam Islam dibuat aturan seperti Ash-shiyal (melindungi diri dari ancaman orang yang akan melukai atau membunuh meskipun dengan cara membunuh orang itu).

Hukum qishas pun digulirkan terhadap yang melakukan pembunuhan tanpa hak. Sebagaimana Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh (2): 178-179 sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [9]

Berdasarkan ayat di atas, kita dapat memahami, hukum qishah itu memberikan efek jera. Efek jera itu tidak hanya dirasakan oleh orang yang membunuh, akan tetapi orang yang tidak membunuh pun turut merasakannya, sehingga dengan adanya qishah ini jiwa ini sungguh sangat berharga. Bahkan tidak hanya itu, ternyata “jika keluarga korban (yang dibunuh) mampu memaafkan si pembunuh, maka si pembunuh diwajibkan membayar denda (diyat) kepada keluarga korban dengan cara yang baik. Dan diat itu merupakan salah satu bentuk dispensasi dan kasih sayang (rahmat) dari Allah”. [10]

Memihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dibedakan menjadi tiga peringkat sebagai berikut:
a) Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
b) Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c) Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan tata cara makan dan minum. [11]

3. Memelihara Akal (Hifzh Al-‘Aql/حفظ العقل)

Akal adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan akal, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun, segala yang dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati. Syaikh Al-Albani berkata, ‘Akal menurut asal bahasa adalah at-tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang dan mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak mungkin bagi orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan pemahaman salaf’. [12]

Islam mengharamkan khamer dan sesuatu yang memabukan sejenisnya. Al-Qur’an menyebutkan bahwa khamer atau berbagai minuman keras itu memiliki mafsadat atau dosa yang jauh lebih besar dari manfaatnya. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Baqoroh (2): 219 sebagai berikut:

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. [13]

Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al-Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil qiyas dari khamer. Karena sebab atau illat pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.

Peminum minuman keras dikenakan sanksi dengan hukum had yang berupa cambukan sebanyak empat puluh kali cambukan sebagaimana sabda Nabi:
عّن أَنَسِ بْْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَنَّ النَّبِىَّ ص أَُتَى بِرَجُلٍ قََدْ شَرِِبَ الْخَمْرَ فَجَلَدَهُ بِِجِرَيْدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِيْنَ , قَالَ ( اَىْ اَنَس ) وَفَعَلَهُ اَبُو بَكْرٍ.
Dari Annas bin Malik r.a. ia berkata: bahwasanya Nabi SAW. beliau mendatangi seseorang yang telah minum khamer, maka beliau mencambuknya dengan dua cambuk sekitar empat puluh kali. [14]

Memelihara akal dari segi kepentingannya dibedakan menjadi 3 tingkat :
a) Memelihara akal dalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan meminum minuman keras karena berakibat terancamnya eksistensi akal.
b) Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan.
c) Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. [15]

4. Memelihara Keturunan (Hifzh Al-Nasl/حفظ النّسل)

Hifdzh al-nasl artinya menjaga keturunan. Demi menjaga kelestarian umat diperlukan adanya aturan-aturan yang berkaitan dengan keberlangsungan atau eksistensi hidup, sebagai makhluq yang dipercaya oleh Allah menjadi kholifah di bumi ini perlu kiranya manusia menyadari bahwa populasi sangat diperlukan. Hal itu semata hanyalah sebagai upaya menjaga amanah dari Allah SWT. Untuk mewujudkan itu semua diperlukan adanya peraturan yang menangani masalah itu, dalam Islam di berlakukan hukum nikah lengkap dengan syarat rukun dan yang berkaitan denganya semisal tholaq (cerai), ruju’ (kembali pada istri setelah menjatuhkan talaq), khulu’ (gugatan dari istri minta di cerai suami), dan yang lainnya seprti larangan zina, nikah mut’ah (kawin kontrak).

Pernikahan dalam Islam sebagai salah satu jalan untuk memelihara keturunan. Seseorang yang berhasrat untuk melakukan hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan harus dilakukan dengan cara yang telah diatur oleh Allah SWT. Dengan kata lain, bahwa setiap anak manusia tidak pernah berani melakukan hubungan seksual tersebut tanpa melalui cara-cara yang pastinya diridhoi oleh Allah SWT, yakni melalui syari’at pernikahan.

Syari’at hukum pernikahan dalam Islam merupakan suatu terobosan baru dalam rangka memberikan solusi atas tata hukum pernikahan yang terjadi di zaman Jahiliyah. Aturan orang Arab Jahiliyah mengenai perkawinan sungguh sangat tidak manusiawi, terutama dalam hal tidak adanya pengakuan terhadap harkat dan martabat kaum wanita. Seperti halnya diatur dalam firman Allah dalam surah An-Nisa (4) ayat 19 sebagai berikut :

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa. [16]

Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.

Memelihara keturunan dari segi tingkat kebutuhannya dibedakan menjadi tiga:
a) Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyah seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina.
b) Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah.
c) Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat seperti disyaratkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan. [17]

5. Memelihara Harta (Hifzh Al-Maal/حفظ المال)


Hifdhu Al-mal artinya melindungi dan menjaga harta kekayaan dari ulah jahil pihak lain. Begitu pedulinya Islam terhadap keutuhan umat, Islam memberikan hak pada masing-masing untuk mempertahankan segala apa yang ada dalam genggamanya sehingga diharapkan akan terwujud situasi yang kondusif aman terkandali karena masing-masing merasa punya hak dan kewajiban, untuk mewujudkan itu diberlakukan hukum sanksi bagi yang melanggar diantaranya:
Had sariqoh (sanksi bagi pencuri) dengan cara potong tangan, Had ikhtilas (sanksi bagi pencopet), had qothi’utthoriq (sanksi bagi penodong), ta’zir bagi pelaku ghosob, dan lain-lain. Tentang cara dan bentuk sanksi yang diberikan bagi para pelaku tindak kriminal di atas itu ada beberapa perincian yang telah disebutkan dalam beberapa kitab fiqih, tidak cukup hanya peraturan tentang sanksi, Islam juga telah menerapkan beberapa trik dan cara untuk menjadikan harta menjadi harta yang baik halal dengan cara di buat aturan-aturan infestasi yang baik dan menguntungkan hal itu terbukti dengan adanya aturan-aturan dalam bai’ (transaksi jual beli), syirkah (modal bersama atau koperasi), ijaroh (sewa), rohn (gadai), qirodh (tanam modal), dan lain-lain.

Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga tingkat sebagai berikut :
a) Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah.
b) Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat tentang jual beli tentang jual beli salam.
c) Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. [18]

KESIMPULAN

Pengetahuan tentang maqashid al-syari`ah seperti yang ditegaskan Abdul Wahab Al-Khallaf adalah berperan sebagai alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur`an dan Sunnah, menyelesaikan dalil- dalil yang bertentangan, dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam al-qur`an dan sunnah secara kajian kebahasaan.

Ketetapan hukum dalam Islam tentunya memiliki argumentasi yang bisa diterima oleh akal manusia. Dalam Islam perintah atau larangan tidaklah diberlakukan tanpa maksud. Islam memerintahkan atau melarang untuk melakukan sesuatu demi menjaga atau melindungi lima hal yang dikenal sebagai maqashid asy-syariah. Kelima hal itu adalah hifdzh al-din (memelihara agama), hifdzh al-‘aql (memelihara akal), hifdzh al-mal (memelihara harta benda), hifdzh al-nafs (memelihara hak hidup), dan hifdzh al-nasl (memelihara hak untuk mengembangkan keturunan). Kelima prinsip dasar inilah yang juga menjadikan Islam sebagai garda agama rahmatan lil 'alamin.

Islam sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin juga dapat ditelusuri dari ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kemanusiaan dan keadilan. Dari sisi konsep pengajaran tentang keadilan, Islam adalah satu jalan hidup yang sempurna, meliputi semua dimensi kehidupan. Islam memberikan bimbingan untuk setiap langkah kehidupan perseorangan maupun masyarakat, material dan moral, ekonomi dan politik, hukum dan kebudayaan, nasional dan internasional.

[1] Yusuf Al-Qardhawi, Madkhal li Dirasah Al-Syariah Al-Islamiyah, (Kairo: Maktabah Wabah, 1991), hal. 57. Lihat juga Abi Ishaq As-Syathiby, Al-Muwafaqat fii Ushul Al-Syari’ah, jilid 2 (Beirut: Dar Ma’rifah, Tt.), hal. 6
[2] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009), hal. 331
[3] Abi Ishaq As-Syathiby, Al-Muwafaqat fii Ushul….. hal. 10
[4] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya….., hal. 30
[5] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 234
[6] Mustofa Dib Al-Bigha, Fikih Islam: Lengkap dan Praktis, Penyusun Achmad Sunarto (Surabaya: Insan Amanah, 2000), hal. 432
[7] Ibid., hal. 432-433
[8] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 128
[9] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya….., hal. 27
[10] Muhammad Ali As-Shobuniy, Shofwah At-Tafaasir, Jilid I (Beirut: Maktabah Al-‘Ashriyyah, 2006), hal. 100. Lihat juga Abul Fida' Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, Tafsiir Al-Qur’an Al-‘Adzim, Jilid I (Qohiroh: Dar Al-Hadits, 2002), hal. 447
[11] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam….. hal. 129
[12] Majalah Salafiyyah Riyadh, Edisi 2 tahun 1417 H, hal. 24
[13] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya….., hal. 34
[14] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju'fi Al-Bukhari, Shahih Bukhori, dalam kitab al-hudud, bab باب ماجاء فى ضرب شارب الخمر dan Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi, Shahih Muslim, dalam kitab al-hudud, bab باب حد الخمر
[15] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam….. hal. 129-130
[16] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya….., hal. 80
[17] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam….. hal. 130
[18] Ibid., hal. 131

DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dimasyqi, Abul Fida' Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Al-Bushrawi, Tafsiir Al-Qur’an Al-‘Adzim, Jilid I. Qohiroh: Dar Al-Hadits, 2002.
Al-Bigha, Mustofa Dib, Fikih Islam: Lengkap dan Praktis, Penyusun Achmad Sunarto. Surabaya: Insan Amanah, 2000.
Al-Qardhawi, Yusuf, Madkhal li Dirasah Al-Syariah Al-Islamiyah. Kairo: Maktabah Wabah, 1991.
As-Shobuniy, Muhammad Ali, Shofwah At-Tafaasir, Jilid I. Beirut: Maktabah Al-‘Ashriyyah, 2006.
As-Syathiby, Abi Ishaq, Al-Muwafaqat fii Ushul Al-Syari’ah, jilid 2. Beirut: Dar Ma’rifah, Tt.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997
Effendi, Satria, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2008.
Majalah Salafiyyah Riyadh, Edisi 2 tahun 1417 H.

1 komentar: