Sabtu, 17 April 2010

SUKSES DUNIA & AKHIRAT

بسم الله الرّحمان الرّحيم
Kesuksesan merupakan dambaan setiap manusia. Pada dasarnya tidak ada manusia di alam dunia ini yang tidak ingin tidak sukses, artinya semua manusia menghendaki kesuksesan tersebut, bahkan mereka akan selalu berjuang untuk menggapainya. Tentu saja meraih kesuksesan itu tidak semudah membalikan kedua telapak tangan. Kesuksesan tersebut membutuhkan proses. Proses dalam meraih kesuksesan sangat bervariatif, yakni ada sukses dalam jangka waktu dekat, ada sukses dalam jangka waktu yang cukup lama, bahkan ada pula sukses dalam jangkan waktu yang sangat lama. Tidak dapat dielakan lagi, berbagai macam tantangan pasti muncul dalam proses mencapai kesuksesan tersebut.
Sangat menarik membicarakan kesuksesan yang dihubungkan dengan prosesnya ini. Setidaknya kita dapat merenungkan dan mentadaburi kembali firman Allah dalam surat Alam Nasyrah (94): 5-8 ((Fainna ma’a al-yusri yusran. Inna ma’a al-yusri yusran. Fa idzaa faragta faansob. Wa ilaa rabbika faarghob). Marilah sejenak kita selami makna ayat ini melalui salah satu kitab tafsir Al-Qur’an, yaitu kitab “Sofwaah At-Tafaasiir” karya Syaikh Muhammad Ali As-Shobuni (Guru Besar Jaami’ah Malik ‘Abdu Al-Aziz Kuliyyah As-Syari’ah wa Ad-Diroosaat Al-Islaamiyyah Makkah Al-Mukarromah). Ketika menafsirkan surat Alam Nasyrah (94): 5-8 tersebut, beliau menjelaskan:
(Fainna ma’a al-yusri yusran/karena sesungguhnya setelah kesulitan tersebut ada kemudahan) maksudnya adalah setelah kesempitan akan datang kelapangan dan setelah kesukaran akan muncul kemudahan dan jalan keluar (solusi). Para ahli tafsir berpendapat: “Rasulullah SAW. dan para sahabatnya ketika berada di Mekkah mereka diliputi kesempitan dan kesukaran. Hal itu disebabkan oleh gangguan orang-orang musyrik kepada Rasul dan orang-orang yang beriman. Maka Allah berjanji kepada Rasulullah bahwa Dia akan mendatangkan kemudahan bagi Rasulullah dan orang-orang yang beriman, sebagaimana Allah telah memberikan banyak nikmat kepada Rasulullah dalam awal surat (lihat ayat 1-4). Berbagai macam nikmat tersebut merupakan sesuatu yang menyenangkan hati bagi Rasulullah, mampu mengobati dirinya, serta mampu menguatkan harapannya”. Seolah-olah Allah berfirman: “Sesungguhnya Dia (Allah) telah memberikan nikmat kepadamu (Muhammad) dengan berbagai nikmat yang sangat besar. Allah akan menolongmu dari musuh-musuhmu, memenangkan urusanmu, serta menggantikan kesulitanmu ini dengan kemudahan dalam waktu yang dekat”. Oleh karena itu, Allah mengulangi janjinya secara berlebihan. Allah berfirman (Inna ma’a al-yusri yusran/sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan) maksudnya adalah akan datang kelapangan setelah kesempitan, akan datang juga kemudahan setelah kesulitan. Oleh karena itu, janganlah kamu bersedih hati dan jangan juga kamu berkeluh kesah (cemas)! Dalam suatu hadits disebutkan (Lan yaghliba ‘asrun yusriina/Kesulitan itu tidak akan pernah mengalahkan kemudahan)-HR. Hakim & Baihaqi-. (Fa idzaa faragta faansob/Maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lainnya) maksudnya adalah Wahai Muhammad, jika kamu telah menyelesaikan atau menyampaikan dakwah kepada makhluk (manusia), maka selanjutnya bersungguh-sungguhlah kamu untuk beribadah kepada Tuhan dan jika kamu telah menyelesaikan urusan dunia, maka selanjutnya sibukanlah dirimu untuk mencari akhirat. (Wa ilaa rabbika faarghob/Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap) maksudnya adalah jadikanlah kepentinganmu dan kehendakmu selalu berada di sisi Allah, dan janganlah sebaliknya, kamu menjadikan keduanya di sisi dunia yang fana ini. Ibnu Katsir berkata: “Maksudnya adalah jika kamu telah menyelesaikan urusan dunia dengan segala kesibukannya, maka selanjutnya lakukanlah ibadah. Dirikanlah olehmu ibadah dengan penuh kegembiraan dan penuh perhatian serta niatkanlah dengan ikhlas kepada Tuhanmu seraya penuh pengharapan”. (Muhammad Ali As-Shobuni, Sofwah At-Tafaasir, Vol. III, Beirut: Maktabah Al-Ashriyyah, 2006, hlm. 1515)
Dengan demikian hakikat kesuksesan itu adalah terjadinya keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat (occurs balance between world affairs and hereafter affairs). Dalam terma Imam Al-Ghazali (سعيد فى الدّنيا و سعيد فى الأخرة/sukses di dunia dan akhirat). Orang sukses adalah orang yang selalu melibatkan Allah dalam segala aspek kehidupannya. Beruntunglah jika kita termasuk orang sukses. Mudah-mudahan kita menjadi orang sukses, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Amin…

UKHUWAH ISLAMIYYAH

INDAHNYA UKHUWAH ISLAMIYYAH
Keyakinan bahwa antara seorang muslim dengan muslim lain adalah bersaudara merupakan dasar dalam interaksi umat Islam. Dengan adanya keyakinan dalam interaksi tersebut, maka akan terjadi ikatan yang sangat kuat antar sesama muslim. Selanjutnya ikatan tersebut disebut dengan istilah ukhuwah islamiyyah.
Ukhuwah pada awalnya berarti “persamaan (equality) dan keselarasan dalam berbagai hal”. Dalam kamus-kamus Bahasa Arab, teman dekat atau sahabat itu diistilahkan dengan istilah “akh”. Kata “akh” merupakan bentuk kata tunggal (isim mufrod/singular noun). Kata “akh” memiliki dua bentuk jamak (plural noun), yaitu “ikhwan dan ikhwah”. Ikhwan berarti persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Sedangkan ikhwah adalah persaudaraan dalam arti sekandung atau seketurunan.
Ayat Al-Qur’an yang membicarakan tentang ukhuwah islamiyyah ini adalah Surat Al-Hujuraat (49): 10. Allah SWT. berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخْوَيْكُمْ, وَاتَّقُوْااللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ.
Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Ayat ini sangat menarik untuk dikaji, telebih jika kata ikhwah dalam ayat ini dikaitkan dengan dua bentuk jamak (plural noun) dari kata akh di atas. Ketika berbicara tentang ukhuwah, Al-Qur’an justru menggunakan kata ikhwah. Lantas yang jadi pertanyaannya, “mengapa Allah menggunakan kata ikhwah untuk menjelaskan ukhuwah ini? Padahal kata ikhwah ini menunjukan kepada persaudaraan dalam arti sekandung atau seketurunan. Terlebih jika melihat realitasnya, justru kita menemukan keberagaman dalam internal umat Islam (keberagaman dari sisi suku, bangsa, keturunan, dan lain-lain).
Pertanyaan di atas menjadi inspirasi bagi kita untuk menemukan kolerasi antara kata ikhwah yang digunakan dalam ayat tersebut dengan realitas yang majemuk. Sebenarnya kita tidak perlu mempertentangkan antara penggunaan istilah dengan realitasnya, karena Allah menggunkan kata ikhwah dalam ayat tersebut memiliki tujuan. Tujuannya adalah untuk menegaskan dan mempererat jalinan atau hubungan antar sesama umat Islam. Seolah-olah hubungan tersebut tidak hanya diikat oleh keimanan saja, melainkan juga seolah dijalin pula dengan persaudaraan seketurunan yang ditunjuk oleh kata ikhwah tersebut. Dengan demikian tidak ada satu argumentasi pun untuk meretakan hubungan antar sesama umat Islam.
Begitu indahnya persaudaraan antar sesama umat Islam ini. Hingga Rasulullah SAW. pun bersabda;
عَنْ أَبىِ مُوْسَى عَنِ الْنَّبيِّ ص قَاَلَ: الْمُؤْمِنُ بِاِلْمُؤْمنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهَا بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ .
Dari Abu Musa dari Nabi Muhammad SAW. beliau bersabda: “Orang mu’min yang satu dengan mu’min lain itu bagaikan sebuah bangunan yang saling mengokohkan antara yang satu dengan yang lainnya, kemudian Nabi mengepalkan jari jemarinya”. (HR Imam Al-Bukhori, Shahih Al-Bukhori, Vol. IV, Beirut; Maktabah Al-Ashriyyah, 2004, hlm. 1228)
Sungguh indah sekali gambaran ikatan persaudaraan dalam Islam ini, bahkan lebih indahnya lagi dalam hadits lain diriwayatkan bahwa ikatan persaudaraan antar sesama umat Islam itu bagaikan satu tubuh, jika ada seorang mu’min yang sakit, maka mu’min lainnya akan meraskan kesakitannya (empati). Sebagaimana Nabi bersabda:
عَنِ الْنُّعْمَانِ بْنِ بَشَرٍ يَقُوْلُ قَاَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص: تَرَى الْمُؤْمِنِيْنَ فِى تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالْسَّهَرِ وَالْحُمَّى.
Dari Nu’man bin Basyir dia berkata, Rasululah SAW. telah bersabda: “Terlihat dalam diri orang-orang beriman itu saling kasih sayang dan saling cinta diantara mereka, hal itu seperti tubuh ini, apabila salah satu anggota badannya merasakan sakit, maka menjalarlah rasa sakit itu ke seluruh tubuhnya hingga tidak dapat tidur dan terasa panas dingin. (HR Imam Al-Bukhori, Shahih Al-Bukhori, Vol. IV, Beirut; Maktabah Al-Ashriyyah, 2004, hlm. 1229)
Akhirnya, tak ada hal yang selalu mendorong kita untuk berbuat kebaikan melainkan firman Allah. Tak ada seorangpun yang menjadi rujukan kita dalam berbuat kebaikan melainkan Rasulullah, karena akhlaqnya mencerminkan firman Allah. Dan tak ada sesuatu yang paling indah di dunia ini melainkan hidup berdampingan erat dengan sesama muslim yang didasari atas dasar rasa cinta dan kasih sayang karena Allah dan rasul-Nya. Hidup penuh dengan ketenangan dan kedamaian menjadi cita-cita kita semua. Karena itu, marilah kita jalin ukhuwah islamiyyah dengan didasari keyakinan bahwa antara seorang muslim dengan muslim lain adalah bersaudara.